Sejarah Monumen Perjuangan Alun-Alun Nganjuk
Alun-Alun Nganjuk didirikan pada tahun 1830, yang berada dijalan Ahmad Yani. Tepatnya di depan masjid jami', yang menjadi destinasi wisata di Nganjuk.
Dialun-alun Nganjuk ada Sebuah Monumen Tugu Pahlawan, siapakah dia?
Dahulu Desa Kedungombo Kecamatan Tanjunganom dijadikan markas oleh Yon 22/Sriti Kompi II pada masa-masa perang kemerdekaan Indonesia. Dibawah pimpinan Kapten Kasihin sebagai pimpinan Kompi II, desa Kedungombo memiliki arti strategis militer tersendiri jika dibandingkan dengan desa lainnya.
Karena letak geografis desa Kedungombo berada ditengah posisi pos militer Belanda dengan posisi markas Yon 22/Sriti. Menjadikan desa ini lebih aman (terlindungi) dan baik untuk pertahanan. Sehingga untuk kepentingan koordinasi dan perhubungan relatif lebih mudah dan cepat.
Baca Juga: Tempat Wisata di Nganjuk untuk Mengisi Akhir Pekan
Desa Kedungombo menjadi salah satu daerah basis militer yang berada disebelah barat sungai Brantas. Beberapa kesatuan (kelompok) lain seperti Seorti CPM, Barisan M, Barisan Rahasia (BARA), Yon 38 Resimen 34 Surabaya (Marinir), dan Batalyon Pancawati (tidak menetap) juga menetapkan desa Kedungombo sebagai pusat strategi mereka. Mereka tinggal dirumah-rumah penduduk setempat yang memungkinkan mereka tempati sebagai markas perjuangan.
Sementara itu Kapten Kasihin, Letnan Joesoef, Letnan Siswohandjojo berada dirumah Bapak Poerwodiharjo dan Para pejabat pemerintahan Kabupaten Nganjuk. Seperti Bupati Nganjuk Mr Gondowardojo dan Patih Djojokoesoemo berada dirumah Bapak H Nur Wedana Anam dirumah Bapak Dipo dan Camat Afandi di Rumah Bapak Djojosoemarto.
Selama perang gerilya (berpindah-pindah / sembunyi-sembunyi) perbekalan sangat sulit untuk dikirim dari markas ketempat perjuangan. Termasuk di desa Kedungombo sendiri juga tidak pernah dikirimi perbekalan. Oleh karena itu, semua kebutuhan dicukupi penduduk setempat, termasuk bahan makanan dan pakaian.
Sedangkan amunisi dan bahan peledak tetap dikirim dari kesatuan. Peran aktif penduduk sangat menentukan dalam perjuangan bangsa Indonesia. Mereka tidak hanya menyediakan tempat dan makanan, tetapi juga sebagai pelaku langsung dalam setiap perjuangan. Hal ini terbukti bahwa yang gugur dalam pertempuran di Kedungombo tidak hanya yang tercatat sebagai tentara resmi, tapi juga penduduk sipil setempat.
Diperkiraan pukul 09.00 WIB Kapten Kasihin dan pengawalnya yang bernama Susah berjalan dari selatan (desa Tawangrejo) menuju kearah utara. Baru berjalan beberapa ratus meter mendapat laporan dari mata-mata Republik, bahwa Belanda sudah berada di Balai Desa (berjarak sekitar -+ 600 meter dari tempatnya). Mendapat laporan tersebut Kapten Kasihin tidak menghiraukannya dan terus berjalan ke arah utara.
Beberapa menit kemudian terdengar beberapa kali suara tembakan dipertigaan gang utara SDN Kedungombo I. Ternyata Kapten Kasihin terkena sudah terkena tembakan. Walaupun sudah tertembak ia berusaha lari ke arah timur sejauh lebih kurang 1 km, dan masuk ke dalam rumah seorang penduduk di Tawangsari (rumah Bapak Rasio). Di rumah tersebut Kapten Kasihin mendapat perawatan tuan rumah sekitar 30 menit, sebelum akhirnya Belanda menemukannya. Belanda yang mengetahui ada orang tertembak terus mengejarnya dan akhirnya menemukan Kapten Kasihin diturunkan dilantai dan kemudian dibunuh ditempat itu juga, sekitar pukul 09.30 WIB.
Baca Juga: Nganjuk Kota Angin, Bagaimana Asal Usulnya?
Menurut penuturan Ibu Parmi (istri Rasio) yang waktu itu dirumah hanya bersama kedua orang anaknya yang masih kecil (satu masih digendong). Bahwa Kapten Kasihin sebelum ditemukan Belanda sempat minta minum air. Saat akan diberi minum itulah kapten Kasihin mengucapkan kata terakhirnya, yaitu "Nggih ngeten niki Bu lhae nglabuhi negeri" yang artinya "Ya begini Bu, inilah membela negara".
Setelah dibunuh, Kapten Kasihin ditinggalkan begitu saja oleh Belanda (menurut Ibu Parmi ketika Belanda mengetahui bahwa yang dibunuh berpangkat Kapten, mereka kemudian hormat kepada jenazah Kapten Kasihin, dan tanda pangkatnya dilepas dan dibawanya). Kemudian Jenazah Kapten Kasihin kemudian dibawa para pejuang bersama rakyat kerumah Kepala Desa. Kemudian diberi penghormatan dan setelah itu dimakamkan di makam Kedungombo, didekat makam Kopral Banggo yang sudah dulu gugur di Desa Josaren Kecamatan Tanjung Anom.